Umat beragama di seluruh dunia bangga menyebut dirinya “hamba” atau “abdi” Allah. Sebutan ini sungguh menggambarkan hubungan ciptaan Allah dengan sang Pencipta. Sebutan lain yang juga dipakai dalam Kitab Suci untuk menjelaskan hubungan orang dengan Allah ialah “anak, ini adalah gambaran yang lebih dekat hubungannya dengan Allah.” Pertanyaannya adalah manakah yang terbaik apakah hidup sebagai anak ataukah hamba Allah? Nabi Besar, Isa Al-Masih dalam Injil pernah kemukakan konsep “abdi” maupun “anak” sbb:
Anak yang terhilang
Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.
Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan [abdi, hamba] bapa.
Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.
Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersuka-ria (Injil, Lukas 15:11-24).
Kembalinya anak yang hilang
Pada waktu anak yang hilang ini tiba di rumah ia bersedia menjadi seorang upahan [seorang abdi] saja di rumah ayahnya. Tetapi bapa sungguh mencintainya dan langsung mengangkatnya lagi sebagai anak yang sesungguhnya. Nabi Besar Isa Al-Masih mempergunakan ceritera ini untuk mengajar kita bahwa Allah Bapa di sorga ingin menjadikan kita, bukan abdiNya, tetapi anakNya.
Hidup Sebagai Anak Ataukah Hamba Allah?
Mungkin Saudara merasa tidak pantas mengharapkan lebih daripada menjadi “abdi Allah” (Abdullah). Tetapi jikalau kita menerima Isa Al-Masih sebagai Juruselamat, selagi kita hidup atau dalam surga kemudian, kita akan diterima sebagai “anak” Allah yang sesungguhnya. Seorang “abdi” memang mempunyai hubungan dengan tuannya tetapi lain sekali daripada “anak”nya. Allah ingin agar Saudara atau saya, apalagi semua orang di dunia menjadi “anak”Nya. Bukankah Saudara ingin menjadi “anak-angkat” Allah? Allah tidak ingin kita rindu menjadi abdiNya toh! Ia ingin mengangkat kita menjadi anakNya!
Kiranya Saudara dapat merenungkan ayat Allah dari Injil berikut ini:
“Tetapi semua orang yang menerimaNya (Isa Al-Masih sebagai Juruselamat) diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya [Isa Al-Masih]” (Injil, Rasul Yohanes 1:12).
anton mengatakan
Mungkin sekali bagi dunia kuno ini merupakan hal yang paling membingungkan yang pernah diucapkan oleh Yesus. Bagi orang-orang Yunani, Allah adalah “Yang Tidak Terlihat”. Orang Yahudi juga berpaham bahwa tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Kepada orang-orang yang berpikir secara demikian itu, Yesus berkata, “Jika kamu telah mengenal Aku, kamu telah mengenal Bapa-Ku juga.” Kemudian Filipus menanyakan apa yang ia anggap mustahil. Mungkin dia memikirkan kembali hari yang luar biasa hebatnya ketika Allah memperlihatkan kemuliaan-Nya kepada Musa. Akan tetapi bahkan pada hari yang besar itu Allah berkata kepada Musa, “Engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan kelihatan.”
staff mengatakan
~
Saudara Anton,
Memang benar kadang secara sepintas ucapan Yesus seakan membingungkan. Namun jika kita bisa melihat seluruh ucapan Yesus dalam Injil dan melihat konteks ayatnya tentu kita tidak akan salah mengerti ucapan Yesus.
Jawaban Yesus sangat jelas sekali kepada Filipus bahwa barangsiapa telah melihat Yesus dan pekerjaan Yesus (perkataan dan perbuatan Yesus yang penuh kuasa) ia telah melihat Bapa. Manusia tidak mungkin melihat Allah dalam kemuliaan-Nya secara langsung. Namun manusia dapat melihat Allah melalui Yesus (Isa Al-Masih).
~
Noni
NN mengatakan
Allah memang Maha Besar, tapi tahukah kalian kalau Allah Yang Maha Besar itu ingin dekat dengan kita(manusia) sedekat hubungan seorang bapak dan anak, kalau kalian mencoba sedikit saja memposisikan Allah Yang Maha Besar itu sebagai bapak kita, kalian akan mengerti betapa Allah Sang Pencipta itu adalah Allah yang Dahsyat! Bahkan sebagai seorang anak pun kita tetap tunduk pada kedaulatan Allah sbg bapak kita layaknya seorang hamba yang tidak berani menentang tuannya. TUHAN YESUS MEMBERKATI.
staff mengatakan
~
Saudara NN,
Memang luar biasa Allah. Dia Allah yang Maha Besar. Dan dalam kemuliaan-Nya yang tak dapat dijangkau oleh manusia berdosa Allah berinisiatif memperkenalkan diri-Nya agar bisa lebih dekat dengan manusia. Kini kita dapat mengenal Allah lebih dekat. Ia bukan Allah yang jauh yang tak dapat dijangkau oleh manusia. Melalui Isa Al-Masih kita bisa mengenal Allah dengan lebih dekat.
~
Noni
Tersadar mengatakan
~
Hidup sebagai anak, karena anak lebih dekat dengan Bapanya di sorga.
Staff Isa dan Islam mengatakan
~
Saudara Tersadar,
Benar sekali bahwa status sebagai anak memungkinkan kita memiliki hubungan yang dekat dengan Allah sebagai Bapa. Kita juga memiliki hak dan kewajiban sebagai anak. Jika kita hanyalah hamba dan Allah adalah Tuannya tentu saja hubungan kita dengan Allah hanya sebatas atasan dan bawahan.
~
Noni
Khajis mengatakan
~
John lukas mengatakan: “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris maksudnya orang-orang yg berhak menerima janji-janji Allah, yg akan menerimanya bersama-sama dengan Yesus Kristus Yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan dia [ Injil Surat Roma 8:17]”
Tanggapan:
Janji adalah hutang. Jika Tuhan maha benar dan maha menepati janji, seharusnya semua orang berhak dipenuhi janjinya oleh Tuhan, walaupun orang tersebut bukan Kristen.
Staff Isa dan Islam mengatakan
~
Saudara Khajis,
Semua orang memang diberikan kesempatan untuk menerima janji Allah tersebut. Tetapi bila yang bersangkutan menolak janji tersebut, maka apakah Allah salah bila menjatuhkan hukuman kelak?
Kami bertanya kepada saudara. Apakah saudara mau menerima janji Allah tersebut? Mengapa?
~
Solihin
Jesus Park mengatakan
~
Saudara Khajis,
Semua orang telah menerima janji Allah yaitu keselamatan, untuk menjadi anak-anak Allah tinggal mengaktifkannya saja. Bagaimana caranya?
“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Isa); orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah ” (Injil, Rasul Yohanes 1:12-13). Menerima keselamatan dari Allah (Isa), mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya. “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah” (Injil, Surat Galatia 4:7).
Staff Isa dan Islam mengatakan
~
Saudara Park,
Setiap orang yang menerima Isa Al-Masih adalah Allah pasti dijadikan anak, bukan hamba. Bukankah menjadi anak akan mendapatkan hak waris? Kami berharap saudara-saudara di forum ini merenungkannya.
~
Solihin